Rabu, 17 November 2010

Soal Kerumitan Evakuasi Warga Lereng Gunung Merapi

Soal Kerumitan Evakuasi Warga Lereng Gunung Merapi 
Tigapuluh dua warga sekitar Gunung Merapi meninggal akibat abu panas yang menyembur dari kawah gunung berapi paling aktif di Indonesia ini pada hari Selasa (26/10) sore, padahal seharusnya korban jiwa bisa dihindari.
Letusan Gunung Merapi ini memang sudah diramalkan sejak akhir minggu ketika Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menetapkan status siaga setelah terjadi penggembungan kawah.
Media di Indonesia melaporkan status siaga ini membuat pihak berwenang memutuskan agar warga yang berada di lereng gunung itu segera mengungsi sebagai upaya mencegah jatuhnya korban.
Pada hari Senin (25/10) status Gunung Merapi ditingkatkan menjadi awas setelah penggembungan yang lebih cepat dan lebih besar daripada sehari sebelumnya, perintah yang keluar terhadap warga adalah pengungsian.
Pemakaman korban
Korban yang meninggal sebenarnya bisa dihindari jika ada perencanaan
Namun, meninggalknya puluhan warga ketika gunung berapi itu meletus menunjukkan bahwa perintah untuk meninggalkan rumah tidak didengar dan diikuti oleh sebagian besar warga di Gunung Merapi.
Sejumlah warga yang sempat diwawancarai oleh BBC Indonesia dan media lain
dikutip mengatakan mereka sedang melakukan aktivitas sehari-hari ketika letusan terjadi, sementara alasan mereka tidak mengungsi meski telah mendapat peringatan adalah tidak percaya peringatan itu akan terjadi karena pada tahun 2006 tidak terjadi letusan padahal mereka sudah mengungsi.
Aspek budaya
Selain itu, menurut pengajar Sosiologi Universitas Gajah Mada, Dr Mohammad Supraja, mengatakan bahwa bagi warga Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan yang menjadi sumber nafkah mereka, mulai dari pertanian hingga peternakan.
"Secara kultural ada semacam ikatan kuat antara masyarakat di sana dengan gunung berapi itu karena mereka merasa aman dan nyaman secara ekonomis," ujar Dr Mohammad Supraja kepada BBC Indonesia.
Dengan kata lain mereka tidak bisa begitu saja meninggalkan sumber mata pencaharian yang sangat penting bagi mereka untuk tinggal di tempat pengungsian.
"Pemerintah tampaknya tidak siap dalam menampung para pengungsi ini," ujar Dr Mohammad Supraja, "Dari kesaksian keluarga Ponimin yang diwawancara bisa didengar bahwa mereka tidak mengungsi karena melihat fasilitas kamp pengungsi yang tidak bisa memberi kesempatan warga untuk menjalankan kehidupan mereka".
Lokasi yang jauh dari pusat kegiatan inti warga membuat mereka tidak bisa melanjutkan pekerjaan sehari-hari ataupun menjaga harta benda yang ditinggalkan.
Dia menambahkan seharusnya pemerintah sudah memiliki satu rencana yang lebih menyeluruh dan lebih rapih dalam menghadapi satu bencana yang secara ilmiah diketahui akan terjadi.


SOLUSI ANTISIPASI LETUSAN GUNUNG MERAPI UNTUK WARGA YANG TINGGAL DI LERENG GUNUNG :
  • Hal yang paling mungkin dilakukan adalah menyediakan tempat pengungsian permanen berikut sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Sebab biasanya Gunung Merapi mengalami letusan dengan siklus lima tahunan.Yang terpenting kesiapan pada saat hadapi letusan Gunung Merapi ialah dengan membangun penampungan yang permanen. Dengan begitu penanganan kepada pengungsi bisa lebih baik.Namun, jelasnya, saat ini Provinsi Jawa Tengah masih mempertanyakan mengapa kapasitasnya hanya cukup untuk menampung 3 ribu orang. "Kalau bisa kapasitasnya ditambah lebih besar," tegas mantan Bupati Kebumen ini. Sebab, warga yang mengungsi akibat letusan Gunung Merapi mencapai puluhan ribu jiwa.Agar pendirian tempat penampungan bisa ringan maka nantinya akan ada sharing pembiayaan dengan pemerintah daerah. Dalam waktu dekat akan digelar rapat di Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Kedu antara pimpinan daerah dan sekretaris daerah di wilayah Kedu.
  • Selain itu, pemerintah juga akan membuat penujuk-penunjuk arah yang baku dan permanen. "Jika seluruhnya sudah permanen maka seluruhnya akan terdata dengan baik jika sewaktu-waktu ada letusan Gunung Merapi," tandasnya. wilayah yang berada di Kawasan Rawan Bahaya (KRB) III, yakni merupakan wilayah yang paling dekat dengan sumber bahaya dan berpotensi terlanda awan panas, aliran lava pijar (guguran/lontaran material pijar, dan gas beracun) yang bersumber dari Gunung Merapi.
  • Dalam acara halal bihalal lalu, Kepala Desa Purwobinangun Suharno ternyata juga ikut hadir dan sudah memberikan peringatan kepada warga Turgo agar waspada terkait adanya peningkatan aktivitas vulkanik belakangan ini. Ketika status Gunung Merapi dinyatakan naik secara beruntun dari “Waspada Merapi”, “Siaga Merapi” hingga akhirnya “Awas Merapi”, aparatur pemerintah – baik di Jawa Tengah maupun Yogyakarta - sudah memberikan peringatan agar semua warga di kawasan rawan bencana segera mengungsi ke tempat aman yang telah disiapkan. Peringatan itu juga disampaikan aparatur Pemerintah Kabupaten Sleman kepada warga lereng Merapi di wilayah Yogyakarta
  •  menyiapkan skenario evakuasi warga jika Gunung Merapi tiba-tiba meletus. Langkah pertama, saat status keaktifan gunung berubah menjadi waspada adalah melakukan pembaruan pendataan tentang kondisi masyarakat dan lingkungan di kawasan rawan bencana (KRB). Fokus pendataan oleh Pemkab Klaten ini adalah para pendudukrentan, yaitu anak-anak, wanita hamil, sakit, usia senja, dan warga dengan kebutuhan khusus (diffa-ble).Langkah pendataan ini seharusnya sudah mulai dilakukan oleh pemerintah. Data kependudukan untuk pengungsi yang terakhir disusun pada 2006 itu sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang," kata Kordinator Tim Siaga Merapi, Sukiman, di Pen-dapa Pemkab Klaten.Seandainya kelak status gunung meningkat menjadi siaga, masyarakat harus siap jika sewaktu-waktu ada perintah pengungsian. Standar operasinya, masyarakat sudah membereskan barang-barang berharga dan harta benda yang mudah dibawa. Selain itu, jalur evakuasi harus bersih sehingga perjalanan pengungsian tidak mendapat hambatan. "Saat Merapi berstatus awas, maka tidak ada lagi penduduk yang berada di lereng Merapi. Khususnya, di wilayah yang pernah dilewati awan panas
Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPK) Yogyakarta menyatakan kenaikan status aktivitas vulkanik Merapi dari "Aktif Normal" menjadi